Beranda | Artikel
Keinginan dalam Diri Nabi Yusuf
Rabu, 28 Agustus 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yala Kurnaedi

Keinginan dalam Diri Nabi Yusuf adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, 21 Safar 1446 H / 26 Agustus 2024 M.

Kajian Tentang Keinginan dalam Diri Nabi Yusuf

Kajian kita masih membahas ujian kedua yang dihadapi oleh Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam, yaitu cobaan besar ketika digoda oleh istri dari pembesar Mesir. Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas ayat ke-24 dari Surah Yusuf, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا…

“Wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya) dengan wanita itu.” (QS. Yusuf [12]: 24).

Namun, maksud ham antara wanita itu dengan Nabi Yusuf berbeda. Ulama menafsirkan ayat ini dengan berbagai pendapat, tetapi jumhur mufassirin (mayoritas ahli tafsir) bersepakat bahwa hamnya Imra’atul Aziz adalah hammu al-fi’il (keinginan yang sudah bulat dan kuat). Sedangkan ham yang disebutkan dalam kisah Nabi Yusuf adalah hammu khatarat (sesuatu yang baru terbersit dalam pikiran, belum menjadi keinginan yang kuat).

Imam Ahmad Rahimahullah menjelaskan bahwa al-ham ada dua jenis:

  1. Hammu Israr: Keinginan yang sudah menguasai diri seseorang, dia sudah melakukan dengan tanda-tanda.
  2. Hammu Khatarat: Sesuatu yang hanya terbersit dalam pikiran, belum terucap atau dilakukan.

Imam Ahmad juga menyatakan bahwa hammu israr adalah jenis ham yang akan mendapatkan sanksi dari Allah. Sedangkan hammu khatarat tidak akan diazab karena masih berupa pikiran yang manusiawi.

Dalil-dalil mengenai hal ini telah dibahas pada pertemuan sebelumnya, termasuk dalam Surah Al-Qalam ayat 17-20. Kemudian berikutnya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ…

“Apabila dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan pedangnya masing-masing, maka yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka.” Kemudian, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, jika yang membunuh masuk neraka, mengapa yang dibunuh juga masuk neraka?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Sesungguhnya dia ada niat yang kuat untuk membunuh sahabatnya.” (HR. Bukhari)

Niat yang kuat itu dibuktikan dengan memegang pedang dan sudah berhadap-hadapan, hanya saja dia terbunuh lebih dahulu. Kalau tidak, dia juga akan membunuh. Ini disebut sebagai ham israr (niat yang sudah kuat). Maka, yang terbunuh juga masuk neraka karena niatnya yang kuat.

Dalil berikutnya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Mu’jam Al-Kabir. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ…

“Sesungguhnya dunia ini untuk empat jenis orang.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan:

Pertama, hamba yang diberi rezeki oleh Allah dengan harta dan ilmu. Dengan rezeki tersebut, dia bertakwa kepada Rabbnya, menyambung tali silaturrahim, dan mengetahui hak-hak Allah atas dirinya. Maka, hamba ini memiliki kedudukan paling tinggi dan paling utama.

    Kedua, hamba yang diberi rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu, tetapi tidak diberi rezeki harta. Hamba ini memiliki ilmu, tetapi tidak memiliki harta.

    Yang kedua ini memiliki niat yang jujur dan lurus. Dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan beramal seperti amalannya Fulan (hamba yang pertama).” Dengan niatnya yang lurus ini, pahala keduanya sama. Subhanallah, hanya dengan niat, keduanya mendapatkan pahala yang sama.

    Ketiga, seorang yang diberi rezeki oleh Allah dengan harta, tetapi tidak diberi rezeki ilmu. Mereka tidak tahu bagaimana membelanjakan harta dengan benar, tidak mengerti zakat, dan tidak memahami hak-hak Allah.

    Orang ini menggunakan hartanya dengan sewenang-wenang, tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Tuhannya, tidak menyambung tali silaturahim, dan tidak tahu bahwa dalam harta itu terdapat hak yang harus ditunaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang ini berada dalam kedudukan yang paling buruk karena tidak memiliki ilmu.

    Padahal, perlu diketahui dan diyakini oleh kita semua bahwa Allah telah menjanjikan bahwa dalam harta yang telah mencapai nisab zakat, ada bagian yang bukan milik kita, melainkan milik para fakir dan miskin. Jika harta itu tetap dipegang, maka bisa menghancurkan kita. Sebaliknya, jika dikeluarkan, harta itu akan menjaga dan melindungi kita. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sedekah tidak akan mengurangi harta.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

    خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا…

    “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah [9]: 103).

    Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan melalui ayat ini bahwa zakat adalah dalam rangka untuk mensucikan harta. Al-Imam As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari “tuthahhiruhum” adalah membersihkan mereka dari dosa-dosa dan akhlak yang hina yang tidak terpuji. Sedangkan “wazakkihim” berarti menambah mereka dengan akhlak yang baik dan amal shalih, serta meningkatkan pahala mereka di dunia dan akhirat.

    Karena itu, tidak heran jika kita melihat orang yang sombong dari kalangan kaya, biasanya belum mengeluarkan zakatnya, sehingga akhlaknya tidak tersucikan. Orang seperti ini memiliki kedudukan yang paling buruk.

    Keempat, seorang hamba yang tidak diberi rezeki harta dan tidak pula diberi rezeki ilmu. Namun, ia berkata, “Seandainya aku memiliki harta, aku akan melakukan amalan seperti yang dilakukan oleh si Fulan (hamba ketiga yang memiliki harta tetapi tidak memiliki ilmu).” Orang keempat ini, meskipun tidak memiliki harta dan ilmu, tetap memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang buruk seperti Fulan tersebut.

    Dengan niatnya itu, dosanya sama dengan si Fulan. Meskipun hanya sebatas niat (ham), tetapi karena niatnya kuat (ham azm atau ham israr), ia dihukumi sama dengan perbuatan nyata. Oleh karena itu, dosanya dianggap setara.

    Ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengazab atau memberikan sanksi kepada hamba yang memiliki ham yang kuat. Adapun ham yang baru berupa pikiran atau hal-hal yang terbersit dalam hati seseorang, yang disebut dengan hammu khatarat, Allah tidak mengazab karenanya selama hamba tersebut tidak melakukan atau mengucapkannya.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadis yang shahih,

    إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ

    “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku terhadap hal-hal yang masih terbersit dalam hatinya selama belum mengucapkan atau melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Bagaimana penjelasan lengkapnya? Simak dan download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

    Download MP3 Kajian


    Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54423-keinginan-dalam-diri-nabi-yusuf/